Online Travel Agen (OTA) Peluang atau Bencana ?

 Kemunculan era OTA pertama yang saya alami adalah Airasia.



Saat itu kita belum terbiasa terhadap tiket yang diberikan hanya selembar kertas berisi kode booking. Belinya masih di travel agen dekat rumah atau yang banyak di Mall.


Saat itu orang belum biasa sama gadget ataupun internet di Hp, apalagi urusan bayar. Masih sangat tabu kalau bayar pakai online payment. Minimal harus ke Atm transfer dengan kode unik dibelakangnya.


Lalu, karena mulai biasa dengan tiket secarik kertas, lama-lama muncul juga versi lokal. Traveloka. Pemesanan tiket pertama menggunakan OTA kala itu saya beli untuk pulang lebaran. Saya pesan melalui laptop. Saya bayar melalu bank transfer.

PDF tiketnya saya print lalu saya bawa ke airport. Yes berhasil.


Masih Norak? Masih


Masih di print soalnya.


Pemesanan pertama saya tanpa melalui agen tiket sama sekali itu saya lakukan setelah berkali-kali memesan air asia yang berupa secarik kertas. Walaupun air asia, saya masih rela antri ke counter yang di Komplek ruko Grand Wijaya Jakarta Selatan.

Setelah berhasil memesan tiket yang full online, barulah saya ketagihan. Bisa beli tiket bisa semudah itu. Bisa secepat dan secanggih itu. 


Era baru dimulai.


Saya akhirnya juga berani memesan tiket air asia tanpa melalui counter. Saya biasakan melalu HP / Komputer saja. Biar lebih cepat dan pasti. 


Tak terasa, waktu berjalan cepat, hampir 10 tahun sudah berlalu. Kini eranya OTA sudah tidak bisa dihindari. Yang tidak menginstall, atau tidak menggunakannya. Pasti rugi.


Harga yang lebih murah, akses yang lebih cepat dan murah.


Siapa yang rugi? 


Sadarkah kita? yang rugi ya lawan dari pembeli. Yakni penyedia jasa.

Penyedia jasa yang effort untuk membangun bisnis tersebut secara rumit. Hanya menikmati kue 50% dari seluruh total perputaran uang yang ada di dalam market tersebut. Baik penerbangan maupun hotel.

Sedangkan OTA sendiri yang bermodalkan teknologi. Bisa dengan gampang mendapatkan market shares lebih dari 20% tanpa harus investasi fisik. 


Ya memang, mereka investasinya IT dan turunannya. Tapi bagi pengusaha-pengusaha diindustri ini selalu merasa, share OTA yang 20% itu didapatkan dengan minim effort.



Lalu, apakah OTA menjadi bisnis yang menguntungkan? 

Ternyata belum. Seluruh start up yang kita lihat sekarang masih bakar uang. Tidak Profit, apalagi bisa BEP. Itungan mereka bukan lagi untuk rugi PNL. Tapi itungan era digital yang 2.0

Itungan yang belum tentu semua pebisnis bisa nerima. Itungan yang super canggih, tapi membingungkan.


Kalau pebisnis rill tergerus karena dimakan OTA, OTA juga tidak untuk, lalu uangnya dimakan siapa?

Siapa sebenarnya yang menikmati "kerusakan lingkungan" ini.


Konsumen ?


Belum tepat. Karena kalau memang konsumen diuntungkan, harusnya industri-industri ini sudah sangat ramai peminatnya. Pembeli kelas menengah atau kaum mendang mending pun sanggup untuk masuk. Tapi, kenyataannya belum sekuat itu manfaat yang dirasakan konsumen / end user.


Lalu siapa?


Menurut analisa saya, orang yang paling diuntungkan dari adanya OTA ini adalah talent. Siapapun yang mempunyai ide-ide, eksekutor IT, orang-orang genius yang mati-mati an mengembangkan bisnis ini.


Mereka panen duren runtuh. Gajinya sangat besar. Tunjangannya juga tidak sedikit, Serta, para pejabat utamanya yang mendapatkan saham di awal. Tentu saja sudah untung duluan dari pertama investor masuk.

Jangan ditanya, banyak orang kaya baru yang bermunculan dari start up efek ini.


Yang level 2 pun juga menikmati, dari orang keuangan, IT, logistik dsb. Gaji mereka tidak bisa kecil. Ide kreatif mereka dibayar mahal.

Itulah analisa saya dengan pembagian kue akibat distrub yang terjadi di dunia pariwisata (OTA) sekarang ini.


Jadi kalau anda pengusaha hotel merasa untung anda berkurang? , uang anda sedang dinikmati developer IT dari Agoda ataupun Traveloka. 


Apakah anda lebih bertahan atau melawan? 








Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.