Sisi Lain Q.S An-Nur : 26
Pertama sekali saya mendengar soal ayat
ini adalah ketika saya berada di sebuah tempat ekslusif. Mempunyai
adat, budaya, aturan hukum, tata karama, dan lingkungan sosial yang terisolasi.
Tempat yang menghalal mengharamkan hal hal yang belum pernah saya
ketahui sebelumnya selama hidup.
Salah satu hal yang
paling menjadi konsern dijadikan norma haram di sana ialah
hubungan seorang lelaki dan wanita tanpa status pernikahan. Iya, betul sekali,
tempat ini mengharamkan hubungan apapun, dalam bentuk
apapaun, dengan siapapun (kecuali muhrim) baik penglihatan, pendengaran,
maupun tulisan, walaupun dalam kondisi tertutup aurat. Apalagi
,menyangkut fisik, barang siapa yang ketahuan
dapat mengakibatkan langsung di arak keliling kota dan dijadikan
maskot. Walapun tidak sampai dirajam, tapi tetap saja sangat berat siksaannya.
Memang ada baiknya aturan seperti ini,
namun sedikit tidak manusiawi. Manusia – manusia yang memiliki nafsu normal dan
akal yang sehat, akan sedikit terguncang jiwanya ketika memasuki lingkungan
ini. Dikarenakan melawan kodrat hubungan interaksi lawan jenis pada umumnya.
Bahkan hal inilah penyebab lebih tingginya derajat manusia dibanding malaikat.
Karena manusia diberikan nafsu dan akal pikiran.
Namun saya dengar katanya rezim sekarang tidak seradikal dahulu, sehingga
warga dan umatnyapun lebih manusiawi dan cerdas. Riset pribadi yang saya
lakukan, justru lingkungan seperti ini (rezim dahulu), menciptakan angka
kebatilan yang lebih tinggi, saat manusia bekas tinggal dalam kondisi seperti
ini harus berinteraksi terhadap lingkungan rill. Namun, saya akui
tidak secara signifikan hal itu mempengaruhi sifat dan karakter mereka saat
keluar dari lingkungan tersebut, melainkan tetap kepada kualitas individu
masing – masing. Menentukan apakah seseorang berkarakter baik atau buruk
pada komposisi yang stabil dan istiqomah.
Singkat cerita, sebagai awam saya sangat
tidak tahu perihal haram mengharamkan pacaran, pertanyaan saya begitu pertama
mendengar statement itu ialah “Bagaimana kita mengetahui lawan jenis tanpa
proses tersebut?”. Pasti pertanyaan itu lumrah diutarakan ketika mendengar
pernyataan itu. Langsung saja, dijelaskan kepada saya soal ayat An-Nur 26. Dan
bagaimana cara kerja Allah mengenai ayat ini juga dijelaskan pada malam yang
penuh terang menderang saat itu.
Buat yang baru pertama kali membaca ayat
ini, sedikit ingin saya jelaskan makna yang lumrah diutarakan oleh kalangan
ustad dan motivator seperti Mario Teguh. Jadi ayat ini adalah ayat yang
menjamin kesamaan kualitas iman bagi setiap individu yang melakukan pernikahan.
Maka dengan ayat ini pula Allah melindungi orang baik dari pasangan yang kurang
baik.
Lalu apa korelasi dengan tidak bolehnya
pacaran? Tentu saja dengan adanya ayat ini maka manusia tidak perlu mengenal
terlebih dahulu pasangan yang akan dinikahinya, cukup dengan bercermin kepada
kualitas iman yang dimilikinya, maka seperti itulah kualitas pasangannya.
Terdengar mudah, tapi untuk menjalaninya sangatlah susah, bahkan praktisi
–praktisi ayat ini pun tidak selamanya melakukan ini dengan 100%. Maksudnya,
biasanya mereka juga melakukan ini dengan terlebih dahulu mengenal calon
pasangannya saat berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari namun tidak dalam
hubungan perpacaran yang selama ini lakukan.
Maksud melakukan ayat ini dengan 100%
adalah seperti kisah Tsabit bin Zutho yang menemukan apel. Ketika dimana
kita tidak mengenal siapapun calon istri kita, lalu memutuskan untuk
menikahinya, bahkan tanpa melihat fisiknya sekalipun.
Tsabit memakan apel di bantaran tepi
sungai, belum habis apel ia mengingat bahwa apel itu pasti ada yang
memilikinya. Maka ditelusurilah tepian sungai sampai ia menemukan orang yang
menanam pohon apel tersebut. Sang pemilik pohon ternyata tidak serta merta
memaafkan Tsabit, ia menyuruh Tsabit menikahi anak perempuannya yang tidak
memiliki tangan dan kaki serta buta dan tuli.Namun, dengan Memiliki keyakinan
atas ayat An – Nur 26 ini, Tsabitpun menerima tawaran seseorang yang memiliki
pohon apel tersebut agar ia dimaafkan karena telah memakan apelnya tanpa
terlebih dahulu meminta izin kepada si empunya. Dan setelah dilakukan
prosesi pernikahan, diketahuilah bahwa gadis itu sangatlah cantik dan memiliki
suara yang merdu.
Kayaknya untuk zaman yang seperti sekarang
ini sangat sedikit pemuda yang ingin melakukan
hal konyol tersebut. Hubungan iseng – iseng ala dunia maya pun
sebisa mungkin diedit sedemikian rupa agar digemari banyak pria-pria hidung
belang yang tidak tahu aplikasi 360 dan Photoshop. Beginilah fakta di lapangan
soal jodoh berjodoh yang sudah umum kita ketahui. Walaupun ada juga perjodohan
“baik” yang berasal dari dunia maya.
Namun disini yang saya mau bahas adalah
sisi lain dari ayat ini An – Nur 26. Ayat yang bernunyi :
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)"(Q.S An-Nur: 26).
Setelah kita renungkan, memang secara umum
saya melihatnya seperti yang kebanyakan orang ketahui tentang ayat ini. Namun
kok saya melihatnya ada sesuatu yang lain yang bisa digali lagi dari ayat
tersebut. Tentu saja saya mendapatkan inspirasi ini bukan hanya melihat
lingkungan sekitar saya, namun saya juga beberapakali mengalami hal yang jika
dikaji lebih dalam, hal tersebut ternyata mengacu pada ayat ini.
Sebelum membaca kajian saya yang sifatnya
pribadi ini, saya mohon rekan – rekan sekalian agar dapat mengkritisi apabila
ada yang salah dengan logika tafsir saya di bawah. Namun, jika sependapat
anggaplah kajian ini datang dari Allah yang dituliskan oleh saya.
Jika kita tidak menyempitkan ayat Allah
yang indah ini, saya hanya sedikit ingin “mempleseti” kata wanita dan pria.
Allah mungkin awalnya sengaja membuat spesifik ayat ini agar manusia jauh dari
“pacaran”. Namun, jika dilihat lebih dalam lagi, saya merasa ayat ini sangat
cocok bukan hanya untuk hal pasangan suami istri, namun “pasangan – pasangan” lainnya.
Kata wanita dan pria yang dikatakan Allah,
saya ingin jabarkan dengan persamaan katanya. Seperti saat kita test logika
saat ingin masuk suatu kelembagaan. Contoh : Manusia : Kaki – Mobil : Roda.
Atau Handphone : listrik – Kucing : Ikan. (Mohon maaf jika contohnya salah). Di
ayat ini saya melihatnya pria dan wanita tidak hanya sebatas pria dan wanita
saja. Tapi lebih ke Manusia dengan lingkungan yang disekitarnya.
Ketika manusia baik “biasanya” akan
ditempatkan dilingkungan baik, atau sebaliknya. Atau keterbalikan, jika
lingkungan baik “biasanya” akan dihuni oleh orang – orang yang baik pula. Namun
tidak hanya sampai disitu saja. Lingkungan ini menjadi sangat luas konteksnya,
seperti benda gerak, benda mati, kehidupan, perasaan, dan apapun yang masuk
dalam aspek kehidupan manusia.
Banyak banyak orang tidak mengkaji bahwa,
alam raya “memantaskan” kepada kualitas pribadi setiap manusia. Sehingga ayat
ini sangat berlaku untuk “hukum alam” yang selama ini kita sering dengar.
Mungkin terasa sulit dimengerti, jika kita tidak mengambil contoh langsung
dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu marilah kita umpamakan dalam kehidupan
manusia sehari-hari kita.
Ketika manusia memulai kehidupan pada
level 1, maka aspek aspek kehidupannya ialah nomer 1. Contoh : anak kosan yang
masih kuliah, sarapan ya ala-ala kuliah, makan siang juga level anak kuliah,
lalu refreshing pun ala anak kuliah. Seiring dengan berjalannya waktu,
mahasiswa tersebut menjadi calon eksekutif muda, mulai dengan pakaian-pakaian
eksekutif muda, makanan yang sedikit naik level, dan mungkin kendaraan yang
lebih layak
Selanjutnya hingga manusia sampai kepada
level konglomerat, maka kehidupan konglomerat juga akan menyesuaikan. Lalu,
bagaimana yang belum pantas lalu dikasih? Maka ayat inilah yang berbunyi.
Biasanya sesuatu yang tidak singkron pada kelayakan dan kepatutannya, Allah
akan berperan dalam memisahkan hubungan manusia dan lingkungan tersebut. Sama
seperti logika Allah tidak mungkin membiarkan orang yang usaha keras tanpa
hasil yang diharapkan.
Sehingga wajar kita lihat ketika orang
kaya mendadak tanpa proses, akan segera kembali miskin karena tidak ada
kemampuan mengelola kekayaannya dengan baik. Sedangkan orang yang kaya dengan
proses, ketika jatuh bangkrut, biasanya akan dapat bisa kembali naik dengan
mudah atas seizin Allah SWT. Semua itu bukanlah tanpa sebab, dan bukan hanya
berlaku untuk umat islam, tapi untuk seluruh penduduk alam raya ini. Disitulah
ayat An-nur 26 ini berbicara mengenai “kepantasan” dalam kehidupan.
Dari kasus lain dalam kehidupan yang
selama ini kita lihat, betapa banyak manusia yang dipisahkan pernikahannya
akibat ketidakcocokan tersebut, mungkin bagi manusia itu adalah musibah, namun
bagi Allah bisa jadi itu ialah bentuk pertolongan Allah untuk melindungi dan
memisahkan kaum manusia agar sesuai dengan klasifikasi yang Allah telah
rumuskan. Lagi – lagi “kepantasan” menjadi efek dapat bersatu tidaknya sebuah
hubungan dengan direstui Allah SWT.
Saya makin yakin dan terinspirasi untuk
menuliskan hal ini ketika saya berkunjung ke kawasan Jl Raya Narogong Bekasi.
Disana ada penangkaran orang yang memiliki gangguan kesehatan jiwa. Seumur
hidup saya hidup, barulah kali ini saya melihat langsung kondisi yang sungguh
membuat hati ini tersentuh. Dimana, ada manusia yang memiliki standar hidup
yang sangat rendah yang patut kita tolong.
Memang banyak golongan yang wajib kita
tolong, pesantren, masjid, bencana alam, dll. Namun di sektor panti / yayasan
orang gila ini sangat jarang orang yang mau menolong apalagi menyembuhkannya.
Oleh sebab, itu pembina yayasan dimana tempat sekarang saya bekerja
terinspirasi untuk menolong hidup manusia yang memiliki kelayakan yang sangat
rendah.
Disini terjadi pengklasifikasian manusia
menurut kesehatan jiwanya. Perlu diketahui, setelah saya berbincang dengan
salah satu dokter yang sedang bertugas disana, ternyata kejiwaan merupakan hal
yang siapa saja dapat mengalami gangguannya. Tiap manusia tidak ada yang
memiliki kesehatan jiwa 100% sehat. Namun memiliki skala skala tertentu, yang
saya sendiri kurang begitu paham.
Setelah setiap pasien di data dan
diklasifikasikan, maka orang orang tersebut dikelompokkan berdasarkan kesehatan
jiwanya, ada yang stress ringan, sedang, berat dan sangat berat. Untuk yang
stress ringan memang agak lebih dimanusiawikan, karena mereka hanya mengalami
gangguan jiwa yaitu rasa takut dan minder yang berlebih. Dalam hal sehari-hari,
mereka dapat berinteraksi secara normal kepada sesamanya dan kepada pengawas.
Untuk level sedang dan berat, untuk dapat
membedakannya sangat sulit, terpintas keliahatan biasa saja. Ada yang senam dan
joget dansa sendiri, ada yang berlarian seperti anak kecil, dan ada yang
memanggil –manggil saya untuk meminta sebatang rokok. Memang untuk 2 level ini,
bangsal pasien terlihat ricuh dan sedikit mengenaskan. Aroma kotoran manusia
yang kering juga sangat tercium di sekitar bangsal tersebut. Beberapa pasien
pun ada yang tidak mengenakan pakaian, dengan alasan kepanasan. Ya sedikit
mirip dengan sebuah kandang yang isinya manusia.
Terakhir untuk level yang sangat berat,
mereka berada di ruang isolasi, ruang dimana mereka seperti di “pasung” namun
lebih manusiawi. Disini pasokan obat pasien tidak boleh kurang, karena pasien –
pasien seperti ini bisa ngamuk seketika jika kehabisan obat. Ruang isolasi ini
memang masih sangat terbatas, karena minimnya lahan yang dimiliki yayasan
penampungan tersebut.
Melihat kondisi yang sangat mengenaskan
ini saya hanya bisa terus zikir dan bersyukur atas nikmat yang Allah berikan
kepada saya. Setelah usai mengitari lingkungan tersebut saya kembali berbicara
dengan salah seorang pengawas disana. Beliau mengutarakan, bahwa kegilaan ini
sangat mungkin terjadi penularan, makanya ada salah seorang dokter yang selesai
mengambil spesialis jiwa, ia juga akan mengalami gangguan kejiwaan.
Selanjutnya ilmu yang saya dapat hari itu
adalah, kejiwaan bukanlah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Dalam kurun
waktu 24 jam orang yang memiliki gangguan jiwa, ada saat saat dimana mereka
memiliki kesadaran jiwa (waras). Dan apabila dokter/ pengasuh dapat menemukan
waktu tersebut, pasien itu akan cepat sekali sembuh. Namun sebaliknya, jika
disaat pasien itu mengalami kewarasan sesaat namun dianggap gila oleh
lingkungannya, maka ia akan semakin jauh dari kesembuhan.
Kesimpulan dari pengalaman saya berada di
lingkungan ini adalah pengelompokkan orang berdasarkan levelnya juga kita
terapkan dalam kehidupan. Sekolah yang memiliki standardisasi atas kemampuan
siswanya, perkantoran yang juga memiliki saringan atas kemampuan karyawannya
dan seluruh kelembagaan, kelompok dan bahkan negara. Mereka Allah kelompokkan
menjadi satu bagian yang relative “sama”. Itu semua jelas mengacu
pada pembahasan saya di awal paragraf, bahwa An-Nur 26 tidak spesifik terhadap
wanita dan pria saja, tapi jauh diluar itu kelompok – kelompok dalam sebuah
aktifitas dan lingkungan akan memiliki seuatu kesamaan yang saling berkaitan.
Tidak sampai disitu, tafsir An – Nur 26
juga saya pakai dalam menyikapi makna kehidupan. Ketika seseorang dengan level
tertentu belum pada “kepantasan”nya memiliki seusatu yang ingin dimilikinya,
maka Allah tidak akan mengizinkan untuk “mempersatukannya”. Namun Allah selalu
berkata “sabarlah” tetaplah berusaha. Maksudnya apa? Allah mau kita terlebih
dahulu “memantaskan” diri kita untuk memiliki sesuatu yang bukan pada level
kita saat ini. Maka dengan perbanyak amalan, doa, serta usaha seperti
menuntut ilmu, dan kerja keras itulah bentuk wujud nyata kita “memantaskan”
diri untuk mendapatkan sesuatu yang levelnya ada di atas kita.
Tentu saja bukan hanya urusan jodoh, namun
juga untuk urusan duniawi seperti gaya hidup, fasilitas, dan kenikmatan. Semua
itu adalah masalah “kepantasan” seseorang untuk mendapatkannya. Sehingga
dahulukan “kepantasan” baru kita akan dinaikkan level oleh sang pemilik level
kehidupan.
Tidak ada komentar: