Menjemur Kaos Kaki Diketinggian 50.000 kaki

Bermalam di bandara memang bukan suatu hal yang mudah, dengan kondisi setengah jiwa karena habis terkena musibah.

Sedikit ingin membatalkan niat untuk melanjutkan perjalanan, namun ada sedikit dorongan untuk tetap melanjutkannya. Hati berkecambuk hebat antara memilih untuk pulang atau melanjutkan perjalanan, Sampai akhirnya kami putuskan untuk melanjutkannya dengan segala resiko yang harus menjadi taruhan.

A. Batam, Johor, Kuala Lumpur 10 July 2016

A. 1 Morning Bakery Rp 600 rupiah

Berangkat dari pelabuhan Batam Center. Dengan diantar oleh Ibu dan Kakak saya. Kami terlebih dahulu pergi untuk sarapan kopitiam ala Batam. Morning Bakery. Starbucksnya orang Batam, dengan harga sedikit dibawah harga Starbucks. Berbagai aneka jenis sarapan khas orang Indonesia banyak disajikan, Dari mulai Nasi Uduk, Mie Aceh, Lontong Sayur, dan rerotian Morning Bakery yang sudah banyak improvisasi. Sedikit ke breadtalk-breadtalkan namun masih mempertahankan jenis jenis lama khas roti Morning Bakery.

Dulu keluarga kecil kami menganggap roti ini adalah sebuah roti yang mewah. Dipesan jika ada tamu atau juga ketika merayakan sesuatu. Ibu saya selalu bercerita bahwa harga roti coklat Morning Bakery saat pertama pindah ke Batam Hanya Rp. 600. Namun gaji ayah saya saat itu masih sekitar 500 ribuan. 

Berangkat sekitar pukul 09.00 dari pelabuhan international Batam Center. Tempat dimana para bandit koruptor melarikan diri. Karena pelabuhan dianggap lebih mudah pengamanannya dibandingkan bandara. Ternasuk Vincent sang pembobol keuangan Asian Agri tahun 2006. Juga melarikan diri ke Singapur melalui Batam. Pelabuhan ini diniatkan untuk menyaingi pelabuhan Vivo di Singapore yang intergrasi dengan Mall super mewah, atau dengan pelabuhan Stulang Laut Johor yang juga menyatu dengan Mall. Pelabuhan Batam Center sendiri dihubungkan dengan jembatan penyebrangan langsung menuju Mega Mall Batam.

Sampai di Stulang laut tidak banyak aktivitas yang kami kerjakan, bergegas menuju Larkin dengan menggunakan taxi proton yang sudah jadul dan kuno ini. Namun karena mobil ini adalah kebanggaan masyarakat Malaysia. Sparepartnya juga luar biasa murah dan bnyak. Sehingga mobil tua ini masih tampak layak untuk dijadikan moda transportasi umum.

Hati mulai terasa ga enak ketika taxi kami sudah mendekati terminal Larkin. Kondisi macet yang luar biasa, serta hiruk pikuk masyarakat yang hendak melakukan mudik. Mengingat hari ini adalah hari ke 4 lebaran yang masih sangat kental dengan baju baju melayu khas Malaysia.

Turun dari taksi kami langsung menghampiri loket loket yang menjual karcis Bus menuju BTS. Bandar Tasik Selatan. Terminal Kuala Lumpur yang menjadi akses untuk perjalanan ke Selatan. Karena kondisi yang tidak bersahabat, saya langsung membeli karcis untuk keberangkatan yang sengaja saya jedakan sekitar 1 jam. Waktu ini dapat kami manfaatkan untuk solat dan makan siang.

Berangkat pukul 01.00 pm Waktu KL. Bus kami sudah diserbu oleh penumpang yang seperti terlihat ketakutan tidak kebagian duduk. Duduk tidak sesuai dengan karcis pun menjadi pilihan, "sit mane mane lah" kata kondektur melayu itu. Campuran bahasa melayu dan Inggris yang luar biasa indah. Kondisi ini seperti kondisi 5-10 tahun yang lalu kondisi perkereta-apian Indonesia yang sekaran sudah berevolusi cukup dahsyat. 

Sampai di BTS sekitar Maghrib. Kondisi jalan toll memang tidak macet total. Tapi terlihat padat. Dengan baju baju melayu yang tampak dari jendela bus yang tingginya 2x lipat mobil biasa, saya bisa menyimpulkan mereka sehabis melakukan kunjungan keluarga acara lebaran.

Beberapa kali terlihat mobil kecelakaan, namun tidak membuat stuck seperti di Indonesia. Karena mereka jauh lebih maju dibandingkan kita perihal nonton orang yang sedang terkena musibah. Ada perasaan (sudah ditangani dengan tepat oleh pihak yang tepat) sehingga tidak ada satupun pengguna jalan lain yang ikut ikutan turun memberikan solusi dan menjadi media pihak 3 untuk mendamaikan seperti di Indonesia.

A. 2. Puduraya tinggal kenangan

Turun di Terminal BTS untuk yang pertamakalinya saya merasa terminal ini terlalu besar. Sehingga menjadi agak lebay untuk ukuran terminal di negara semaju seperti Malaysia. Kenapa lebay? Karena dengan pengaturan bus yang online dan Just In Time sebenarnya dapat membuat waktu tunggu bus di terminal tidak terlalu lama. Seperti di Kota Tokyo yang busnya sudah online dan memiliki ketepatan waktu yang luar biasa.

Sesampai di BTS, kami melanjutkan perjalanan ke terminal lama. Daerah Puduraya. Menggunakan Rapid KL. Hanya 2 RM seorang, hampir saja kami menggunakan taksi yang konon katanya hampir 20 RM. Terminal Puduraya ini tinggal kenangan, tidak terlihat lagi hiruk pikuk turis lokal maupun asing yang terlihat berkeliaran.

Dibangun tahun 1976 terminal ini cukup memiliki sejarah yang melekat bagi pelancong2 sesepuh Malaysia. Bagi saya sendiri yang mulai melek Malaysia sejak 1996 pun rasanya tidak mudah menerima kenyataan bahwa lokasi yang dulu padat, sekarang tinggal kenangan.

Bukan karena tidak pro turis, pemerintah Malaysia terpaksa melakukan hal ini karena untuk mengurangi macet di pusat Kota Kuala Lumpur. Kuala lumpur sengaja dikurangi beban masalahnya dengan membangun infrastruktur di luar KL. Mulai dari bandara KLIA, pusat pemerintahan Putrajaya dan pengembangan kota2 penyangga seperti Nilai, Kajang, Sepang, Rawang juga dikembangkan secara serius oleh pemerintah Malaysia.

Singkat cerita, setelah kami turun dari Rapid KL di terminal Puduraya, kami berjalan menuju hotel kami yaitu Central Pudu. Cukup jauh berjalannya karena kami salah persepsi, kami pikir hotel ini adalah hotel yang persis di atas terminal. Ternyata saya baru ingat, bahwa hotel tsbt setelah direnovasi kini berubah nama menjadi Citin Hotel. Kami berjalan kurang lebih 1.5km ke arah hotel Central Pudu.

Berjalan menyusuri jalan terminal Puduraya menuju hotel hati saya merasa sedih, karena toko2 yang dulu 24 jam sekarang sudah tutup sekitar jam 11 malam. Hotel2 yang dulu susah dicari karena full, sekarang sepi. Semua ini adalah efek terminal yang sudah dipindahkan. Bule bule pun sudah jarang sekali berkeliaran disekitar Puduraya. Mungkin yang masih tersisa adalah mereka yang seperti saya, pelancong2 sepuh Malaysia yang hanya tau tempat ini sebagai pusat turis di Malaysia.

A. 3. Bertemu sahabat lama

Seusai cek in, bersih2 dan mandi. Ritual selanjutnya adalah kulineran di malam hari. Mengingat kami belum makan cukup dari awal perjalanan Johor - Kuala Lumpur. Pilihan terbaik saat itu adalah cari yang terdekat. Karena hari sudah malam dan badan sudah letih. Kebetulan ada restoran mamak yang cukup dekat dan lumayan menggugah selera dengan bau bau kari yang menyengat.

Sudah jauh hari sebelum keberangkatan saya ke Malaysia, saya iseng meminta tolong tmen saya bernama Fahri untuk menghubungi kawan lama kami yang tinggal di Malaysia. Syahid Bin Lokman. Sempat kuliah di Jakarta namun akhirnya melanjutkannya di Malaysia. Sulit sekali untuk dihubungi, terlebih lagi Syahid bukanlah anak yang bersosial media. Singkat cerita saya mendapatkan nomer Syahid dari Fahri..

Sehari sebelum berangkat, saya menghubungi Syahid untuk memberitahukan keberadaan saya di Malaysia dalam beberapa waktu. Ternyata pesan saya dibalas. Beliaupun menanyakan lokasi hotel dan kapan waktu yang tepat untuk dapat bisa bertemu dengan saya.

Kontak berikutnya berlanjut di bus saat perjalanan ke Kuala Lumpur. Saat saya sudah memiliki nomer malaysia, sayapun dengan mudah tersambung dengan Syahid. Namun sore itu ia sempat mengabarkan bahwa ia akan sibuk dan akan menghubungi saya malam.

Tibalah saat saya berada di restoran mamak bersama istri untuk santap makan malam. Si Syahid yang sudah lama ditunggu2 akhirnya menghubungi untuk bertemu malam itu juga. Sayapun menshare location lokasi saya. Tak lama kemudian Syahid-pun datang..
.
Akhirnya saya bisa menemukan Syahid di kondisi dimana saya dan teman2 lain sudah lama sekali tidak ada hubungan kontak dengan Syahid, bahkan dari Syahid masih kuliah di Jakarta-pun rasanya sangat sulit untuk dicari keberadaannya.

Malam itu kami mencari tempat nongkrong berikutnya, untuk berbicara tentang waktu2 saat ia menghilang dari peredaran. Tempatnya tidak jauh dari tempat pertama saya makan. Hanya sekitar 1 km. Syahid memilih tempat yang rada arabian. Maklum karena Syahid ini ada keturunan Arab, jadi lidahnya sangat sulit dipisahkan dari masakan masakan khas Arab.

Kami bertiga akhirnya ngobrol sampai larut pagi. Waktu menunjukkan pukul 03.00 pagi. Bagi saya masih jam 02.00 karena letak geografisnya tidak berbeda dengan WIB. Syahid bercerita tentang masalah2 selama ini, mulai dari keluarga, kuliah dan kehidupannya. Sebenarnya mudah dan sudah lama saya menduganya, namun setelah mendengar langsung dari orangnya, saya cukup lega ternyata kondisinya tidak separah yang saya duga sebelumnya.

B. Kuala Lumpur 11 July 2016

B.1. Penyuluk Saku di Negeri Jiran

Bangun pagi di Kuala Lumpur rasanya memang belum terlalu berbeda dengan bangun di Jakarta maupun di Batam, Cuma bedanya jam terasa lebih cepat 1 jam. Jadi secara psikologi saya selalu merasa memiliki cadangan waktu 1 jam. Tentu saja ini adalah salah satu faktor terjadinya musibah yang saya alami esok.

Tidak memiliki agenda yang terlalu padat dan memiliki rasa menguasai medan di Malaysia saya tidak menyiapkan ittenerary yang berlebihan di sini. Cukup dengan menggoogle tempat2 yang penting dikunjungi dan dengan disertai aplikasi Grab. Kita bisa pergi kemana saja di pelosok Malaysia dengan mudah dan murah.

Hari ini saya memutuskan untuk pergi ke KLCC, Mall yang disertai dengan menara kembar di atasnya. Dilengkapi dengan KLCC park yang sejuk dan rimbun. Paduan yang indah diantara hutan2 beton disekitarnya. Untuk yang belum pernah ke KLCC rasanya sangat wajib untuk foto selfie dengan background menara kembar kebanggaan masyarakat melayu dsini.

Hari mulai petang dan kami pun bergegas mencari mushola untuk menuaikan ibadah zuhur dan asar. Cukup mudah mencari mushola di negara ini, bersih, wangi dan cukup luas. Hal itu juga sudah ditiru oleh pengembang2 mall di Indonesia yang sadar akan kebutuhan pengunjung mall. Walaupun sebagian besar pemilik mall mall tersebut adalah orang non muslim.

Saat solat, ada satu hal yang mengganggu pikiran saya. Dompet saya tidak ada di kantung celana saya. Saya masih berusaha berkonsentrasi mengabaikan pikiran tersebut dan menenang-nenangkan diri bahwa dompet ada di tas kecil yang saya bawa. Saya sengaja mempercepat solat saya agar gangguan ini bisa diatasi secepatnya.

Setelah solat selesai, di tas pun saya bongkar. Saya tidak menemukan dompet saya. Beruntung dokumen2 penting lainnya ada di tempat tersembunyi di tas saya. Sehingga aspek aspek kerugian yang ditimbulkan oleh kehilangan ini masih dapat saya maintain dengan baik. Seperti mengurus sim, stnk, dll serta beberapa uang Ringgit yang ada di dompet tersebut.

Untuk pengelolaan barang bawaan memang dari kecil saya sudah diajarkan untuk bepergian ala orang dahulu. Memecah uang bawaan ke dalam beberapa saku, menyimpan dokumen penting dan cadangannya, serta mendistribusikannya ke seluruh anggota badan yang terpisah,

Mungkin zaman seperti sekarang kita tidak perlu melakukan hal itu lagi karena ATM sudah online diseluruh dunia. Sehingga cara bepergian dengan membawa segepok uang cadangan tidak perlu lagi dilakukan di zaman sekarang.

Belakangan saya ketahui bahwa dompet saya hilang di MRT menuju KLCC. Hingga akhirnya saya membatin, mungkin copet2 yang dahulu operasi di Jakarta sudah pindah ke Kuala Lumpur. Karena udah lama sekali saya di Jakarta namun tidak pernah melihat kasus seperti ini lagi. Mungkin copet Jakarta takut dibakar dan dihakimi hidup hidup. Sedangkan nyopet di Malaysia, selain uangnya Ringgit, juga tingkat kewaspadaan masyarakat Malaysia sangat rendah. Sehingga copet pun perlu hijrah ke tempat yang lebih kondusif untuk kelangsungan profesinya.

B. 2. Nasi Kukus Suraya, Kampoeng Baru

Siang hari karena panas dan dompet hilang kami akhirnya memutuskan untuk beristirahat sebentar di Hotel. Jarak dari KLCC ke hotel tidak begitu jauh, hanya sekitar 30 menit menggunakan MRT. Didalam kondisi yang masih kepikiran dompet hilang, Syahid pun tiba2 menghubungi untuk mengajak sight seeing tempat yang baru di Malaysia. Alhamdulillah masih ada yang bisa menghibur saya ditengah perasaan berkecambuk karena kekesalan dompet yang hilang.

Syahid datang tidak lama dari konfirmasi dia untuk menjemput, tujuan kami pertama adalah restoran di daerah Kampung Baru, bernama Nasi Kukus Suraya. Terletak di pinggir jalan di pusat bisnis Kuala Lumpur. Kalo saya ibaratkan, lokasi ini seperti yang ada di senopati dan blok S Jakarta Selatan. Lokasi yang melayani tumpahan orang orang yang berburu makan siang rada murah. Tidak semahal resto yang ada di mall dan perkantoran. Sehingga tampak bapak2 dan eksmud bergerombol mencari restoran di daerah Kampung Baru ini.

Menunya antara lain ayam goreng Bangkok. Ayamnya Upin Ipin yang selalu menjadi kesukaan. Dan memang enak, berbeda dengan ayam goreng di Indonesia. Dipadukan dengan nasi briyani yang subhanallah rasanya. Saya suka sekali, tapi istri saya tidak. Sehingga dia hanya memesan lauk prasmanan yang juga tersedia di restoran itu.

Minumannya saya pesan es bandung. Entah kenapa minuman ini lebih populer di Malaysia dibandingkan di Bandung sendiri. Harganya juga bersahabat, sangat disarankan untuk mengulang dikesempatan lain ketika singgah ke Malaysia lagi.

B. 3. Putrajaya pusat pemerintahaan

Selepas Kampung Baru, Syahid mengajak kami ke Putrajaya. Saat itu saya hanya request ke tempat bagus yang menjadi andalan Malaysia. Bermodalkan Waze, kami memacu kendaraan menuju ke pusat pemerintahan Malaysia itu. Jarak yang ditempuh sekitar 35 KM. Melalui toll yang tidak terlalu macet padahal sedang berada dijam pulang kantor.

Putrajaya ini adalah konsep perkotaan baru yang sangat tertata dengan baik. Investasi miliaran Ringgit ini membuat malaysia memang patut dikatakan negara maju. Kota yang sudah mandiri. Ada mall nya sendiri, perumahan sendiri, ladang golf sendiri dan lengkap dengan fasilitas fasilitas kebutuhan sehari2. Putrajaya sendiri berdampingan dengan Cyberjaya. Lokasinya tidak terlalu jauh, Putrajaya untuk pemerintahan, sedangkan Cyberjaya untuk pabrik dan kampus. Sebuah konsep yang baik untuk memindahkan kota dari Kuala Lumpur dengan pemikiran yang genius.

Sanggupkan Jakarta melakukannya? Walau Jokowi sekarang sedang membangun banyak infrastruktur, rasanya hal itu masih seputar membenahi benang kusut. Bukan membuat umpalan benang yang rapih dari awal. Hal ini mungkin karena dana yang tersedia terbatas, serta periode kepemimpinan yang singkat. Hanya maksimal 5 tahun. Membuat setiap presiden berfikir hanya instan sebatas tidak lebih dari 10 tahun.

Selesai solat maghrib dan isya di Masjid Putera, Puterajaya. Kami bergegas kembali ke Kuala Lumpur. Karena hari sudah larut malam dan karena esok pagi kami harus berangkat ke KLIA untuk perjalanan ke Tokyo. Walau rasanya masih sangat sayang melewatkan waktu yang sangat terbatas ini berbincang dan melepas kangen dengan sahabat lama.

Sebelum kembali ke hotel kami mampir ke jajanan yang tidak jauh dari hotel kami. Lokasinya juga tidak jauh dari terminal Puduraya dan Pasar Petaling Street. Rebusan seafood yang sebenernya dipopulerkan oleh Thailand ini menjadi salah satu landmark jajanan yang ada di kawasan china town Kuala Lumpur ini.

Tidak jauh dari situ pula saya juga membeli burger legend kebanggaan Malaysia. Burger Ramly. Yang rasanya enak dan sudah tidak murah lagi. Di dekat situ ada bangku2 ala kopitiam melayu yang memadati pedestrian. Kamipun duduk sambil menikmati suasana malam Kuala Lumpur sambil makan tusuk tusukan seafood dan burger Ramly.

Anehnya, dimalam itu syahid tidak henti2nya mengajak saya dan istri untuk hangout sampai tengah malam lagi. Namun pertimbangan untuk bangun pagi dan flight keesokan harinya membuat saya menolak ajakan itu. Dan akhirnya kamipun diantar Syahid pulang ke hotel yang sudah dekat dengan lokasi kami makan tadi.

bersambung......















Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.