Virus Terbang
Setelah sekian lama tidak melakukan perjalanan udara, baik dalam maupun luar negeri. Kali ini saya akhirnya mencoba untuk terbang kembali. Tidak jauh, hanya dari Bali - Jakarta.
Pilihan penerbangannya cukup beragam, dari yang lowcost, widebody, full services, hampir semua tersedia. Semenjak pandemi bertambah sedikit variancenya , physical distancing atau tidak.
Pilihan saya jatuh pada Lowcost, physical distancing, yang pesawatnya memakai airbus 320. Pasti sudah pada tau semua itu pesawat apa.
Sejak lama saya ingin membahas soal “dapur” dari penerbangan ini. Kok bisa dengan pelayanan prima, harganya sangat baik. Pesawatnya tergolong muda, awak kabinnya juga terlihat muda2 dan fresh.
Air Asia memang tidak asing di telinga kita, pendirinya merupakan orang Malaysia keturunan India. Tony Fernandes. Beliau ahli akunting. Terutama cost accounting.
Sebelum tau Air Asia mungkin semua orang belum kepikiran apa yang menjadi gagasan beliau. “Mempreteli” komponen-komponen biaya yang ada dalam pesawat terutama variable costnya.
Alhasil trendseter ini ternyata diikuti bnyak pihak airline low cost carrier lain. Tp belum ada yang bisa mengalahkan sang raja. Air Asia menang penghargaan low cost carrier belasan tahun dari sky track.
Kalau kita bedah lebih dalam, ternyata performa keuangan Air Asia tidak secantik pramugarinya. Saham dengan kode emiten CMPP ini tidak menang penghargaan bertahun tahun.
Dalam kondisi seperti itu, mereka kenapa tetap survive? padahal Air Asia adalah perusahaan swasta. Tidak mungkin ada bantuan APBN yang membell-out utang jatuh tempo apabila terjadi penunggakan. Tidak ada yang menjamin atas semua utang - utang yang dimiliki Air Asia.
Sebelum masuk ke strategic cost accountingya, saya perlahan akan jelaskan fakta2 di lapangan yang menurut beberapa hemat orang penerbangan, Air Asia adalah pencetusnya.
Pertama adalah bagasi, Air Asia melihat bagasi merupakan komponen terpisah diluar kebutuhan orang terbang. Dari banyaknya pebisnis atau mahasiswa yang melakukan flight tidak menggunakan bagasi sama sekali. Padahal, dalam komponen tiket kita sudah sangat diperhitungkan biaya bagasi tersebut.
Kedua adalah makanan, Air Asia melihat makanan juga merupakan alat untuk up scaling sales mereka. Dimana, saat maskapai lain menjadikan makan / consume menjadi sebuah komponen cost dalam tiket. Air Asia memisahkannya.
Hebat
Ketiga, adalah tempat duduk. Air Asia adalah maskapai pertama yang saya ketahui menjadikan tempat duduk juga untuk menggarap cuan. Pemilihan tempat duduk diawal, menjadi sebuah hal yang mahal bagi yang suka naik Air Asia.
Note : Air Asia tidak cocok untuk yang pergi bulan madu, karena dimungkinkan tempat duduknya terpisah selama diperjalanan.
Keempat, Space kosong di bagasi. Air Asia menempeli space bagasi yang biasa berwarna putih itu dengan iklan produk di bagasi atas penumpang. Untuk yang tidak biasa, kelihatannya memang mengganggu. Tp lama2 seperti biasa saja. Pemandangan di luar jendela bisa mengalihkan warna warni langit langit pesawat.
Kelima, Air Asia membuat loyality program. Setiap individu yang naik pesawat, akan mendapatkan point yang kemudian hari dapat ditukar menjadi tiket / diskon.
Keenam - Kesepuluh, mungkin ide untuk menurunkan cost dan menaikkan pendapatan masih banyak. Namun terkait safety dan lain hal tidak bisa dilakukan.
Sukses di Low Cost Carriernya, Air Asia kemudian mengembangkan hotel. Dulu namanya Tune Hotel. Saya pernah mencobanya sewaktu di Bangkok.
Mirip kejadian dengan bisnis aircrafnya. Kamar kamar dipreteli costnya. Apa saja? mari kita bahas satu persatu.
Pertama, Ac. Kamar Tune hotel cukup mewah, luas, dan lengkap. Tapi Ac hotel tidak bisa sembarangan dinyalakan oleh tamu di kamar. Harus mendapatkan otorisasi dari Front Office. Namun, untuk yang irit tidak dengan menggunakan AC, Tune Hotel menyediakan kipas angin. Free.
Kedua, Anduk. Tentu saja anduk juga merupakan komponen variable cost. Banyak sekali tourist yang bisa stay berhari2 namun bisa tidak mengganti anduknya. Disitu Tune Hotel menerapkan charge per anduk yang dipakai. Namun ada pula pilihan tidak menggunakan anduk sama sekali. Bawa anduk sendiri. Tidak dicharge sama sekali
Ketiga. Amenities. Tentu saja amenities juga seperti anduk. Pilihannya juga sama, bisa tidak sama sekali, atau dicharge sesuai amenities yang diberikan sesuai kebutuhan.
Keempat. Ini yang paling gila. Lift. Lift di Tune Hotel tidak free, bagi yang mau naik ke kamar menggunakan lift, ada settingan berbeda pada kartu kunci kamar kita, sehingga saat di tab, lift tersebut dapat bergerak.
Silahkan gunakan tangga untuk yang tidak menggunakan lift sebagai tamabahan cost.
Kelima. Spot iklan di dalam ruangan. Tune hotel juga menggandeng beberapa vendor seperti minuman, kopi, dan amenities. Logo/merknya nongol. Sengaja untuk spot iklan di barang tersebut.
Keenam - kesepuluh mungkin Tune Hotel juga ingin menyediakan kamar tidak dengan kasur, seprei, air dll… Tapi hal teresebut belum dilakukan hingga saat ini.
Dari dua case di atas. Saya tidak mau berkomentar banyak tentang item-item variable cost yang dikeluarkan Air Asia ataupun Tune Hotel. Karena bisa saja hal tersebut tidak lagi relvan dengan kondisi pandemi saat ini.
Tapi satu hal yang bisa kita pelajari adalah, efiesiensi adalah keharusan yang mutlak untuk sebuah service dan produk dapat bisa bernilai jual tinggi. walaupun dengan harga yang sangat murah. Peluang tetap ada, upscaling sales tetap ada celahnya, mengecilkan cost pasti ada caranya.
Hal itulah yang kita sedang bangun bersama-sama di Hotel Titik Dua Ubud. Pelan tapi pasti, kita berharap semua dapat menuju ke arah yang lebih baik. Salesnya meningkat, harganya makin competitive, servicenya makin baik, dan yang paling penting, perusahannya untung dan valuenya naik.
Jumat 14.40
Bali - Jakarta
34.000 Kaki diatas permukaan laut
Tidak ada komentar: